Why Me?!

by - Januari 04, 2022

Pagi hariku diawali dengan ke-terburu-buru-an. Yup! Benar sekali, jika kamu menebak aku bangun kesiangan. Ya, aku tahu, ini kebiasaan burukku. Menunda-nunda waktu bangun, alarm bunyi aku matikan lagi, berulang begitu terus. Sudah begitu aku harus menunggu sekitar 15 menit untuk naik bus. Ya, ini lagi-lagi karena kesiangan, aku harus ketinggalan bus. Bisa tebak pukul berapa saat aku menunggu bus? Pukul 07.16 mungkin sekitar itu, atau lebih 17 menit, yang jelas saat bus datang 15 menit kemudian sudah lewat pukul setengah delapan. Aku gagal presensi lebih awal untuk pulang di sore yang cerah.

Kamu tahu, aku sudah rungsing sekali. Moodku ambyar! Demi satu hari ini berjalan dengan lancar, kucoba hela nafas berulang kali. Menenangkan gejolak emosiku. Aku sudah membayangkan sampai kantor akan bisa sarapan dulu, meski sepertinya aku sampai kantor sudah mendekati pukul delapan. Bisalah diatur, pagi-pagi juga belum banyak kerjaan. 

Dan apa yang terjadi? Aku tiba di kantor pukul delapan kurang sepuluh menit dan harus buru-buru sarapan. Bukan itu masalahnya. Tapi, di mejaku sudah ada tumpukan berkas yang harus dikerjakan. Oh, Tuhan! Aku tinggal untuk sarapan pun juga tidak bisa. Saat itu emosiku yang awalnya sudah di dasar kembali ke puncak. 

Belum usai emosi dengan tumpukan berkas di meja yang harus kuselesaikan. Si partner, malas sekali aku menyebutnya, hilang entah ke mana. Lebih tepatnya lagi belum datang. Seharusnya kan tugasnya bisa dibagi dua. Dia kerjakan setengah, aku juga. Cepat selesai. Dasar gila memang dia. Sabar sabar, tenang. 

Sudah hampir pukul setengah sembilan, aromanya belum tercium apalagi kelihatan hidungnya. Aku sebal-sebal-sebal-sebal!!! Saat itu sudah mau menangis rasanya. Why me?!

Bukan sekali, dua kali, sudah berkali-kali. Berkali-kali. Masa, iya, seperti ini terus? Telat atau kalau datang pagi, siangnya hilang entah ke mana. Mau menjambak dia rasanya. Tenang, tarik nafas, buang.

"Eh, tahu nggak..." tiba-tiba suara itu terdengar di belakangku.

Sontak aku teriak dan refleks menunjuk ke wajah pemilik suara di belakangku, "KAMU HARUSNYA DATANG NANTI JAM DUA BELAS SEKALIAN!" Biar didengar seluruh teman di sekeliling kubikelku. Emosi. Sebenarnya tidak keras juga suaraku. Tapi penuh penekanan emosi.

"He..he..." Dia, si orang menyebalkan, hanya nyengir.

"Ketawa lagi," gerutuku. Aku langsung menatap layar monitor lagi sambil menggerutu dalam hati. Apanya yang lucu? Dia datang pukul sembilan seperempat, itu lucu? Oh tentu tidak. Sama sekali tidak. 

"Kan, aku sudah izin tadi." katanya sedikit memelas. Sedikit. Mau memelas seperti apa juga, aku tidak peduli.

"Terserah!" Aku beranjak dari kursi. Emosi. Tahu tidak dia kalau aku kesal padanya? Daripada aku semakin meluap-luap tidak karuan lebih baik aku pergi dulu. Si orang menyebalkan itu cuma diam melihatku pergi dan menuju kursinya.

Kamu tahu kan, aku pergi ke mana?

###

"Jadi, begitu ceritanya," desahku. Rasanya ada kelegaan setelah berhasil menumpahkan segala kekesalanku. Baru juga beberapa jam, padahal hari masih panjang sampai sore nanti. 

"Sabar, ya. Semangat!" suara di ujung telepon ini mencoba menyemangatiku. Aku hanya tersenyum tipis dan mengangguk. Dia juga tidak akan tahu. 

"Kenapa harus aku? Kenapa aku bertemu dengan orang itu? Kenapa?" Aku hanya bisa bertanya-tanya. Entah sampai berapa kali. Mungkin sampai aku menemukan jawabannya. 

Si pemilik suara di ujung telepon tidak menyahut. Diam. Aku diam. Sebab tidak akan pernah ada jawaban atau penjelasan penenang untukku dari dia. Tidak akan pernah ada.

Sebab dia sudah lama pergi. Jauh sekali. Aku hanya memiliki suaranya yang terekam dalam ponselku dan kenangan-kenangan lainnya. Tetapi, aku percaya dia melihatku dari jauh sana. Pasti.

Aku terdiam cukup lama di dalam toilet. Sampai terdengar suara pintu didorong, ada seseorang masuk. Langkah kakinya menuju toilet di sampingku. Aku lekas menghela nafas, upaya menenangkan diri. Saatnya kembali menghadapi realita. Huftt... Semangat!

Aku akan menemukan jawabannya. Pasti.   

You May Also Like

0 komentar