Jalan-jalan Sore

by - Januari 05, 2022

Seharian ini rasanya suntuk banget. Jadi, aku memutuskan sore ini jalan-jalan sambil memutar lagu kesukaanku. Syahdu gitu rasanya. Aku juga sudah lama nggak jalan-jalan di kompleks. Sesekali buat menghirup udara segar.

"Permisi, Mas." sesosok perempuan berjilbab merah muda berdiri di sampingku. Sepertinya dia mengucapkan sesuatu, tapi aku nggak dengar. Dia tersenyum. Aku tersihir.

"Mas?" Dia sepertinya mengucapkan sesuatu lagi kepadaku sambil tangannya melambai ke arahku. Aku baru sadar, masih menyalakan musik di earphone-ku. Segera aku matikan pemutar musik, kulepas kedua earphone-ku.

"Maaf, maaf...ada apa?" aku mencoba menanyakan keperluannya. Aku yakin sih, dia mau bertanya sesuatu.

Dia tersenyum...lagi. "Hmm...Mas tahu kost di sekitar sini?" Aku refleks mengangguk. "Tadi saya dapat info dari toko di depan sana, dekat jalan raya masuk ke sini. Katanya di sini ada kost." 

"Oh, iya...kost. Hmm, kost untuk cewek?" tanyaku setengah gugup. Aneh.

Dia mengangguk dengan masih tersenyum. "Kayaknya saya tahu. Sebentar saya kunci pagar dulu." Aku buru-buru mengunci pagar rumah. "Mari saya antar ke sana," ajakku padahal aku juga nggak hafal di mana yang menyewakan kamar kost di sekitar sini. 

Kami, aku dan perempuan tadi, jalan bersisian sama-sama diam. Aku bingung harus bicara apa. Seketika semua pertanyaan basa-basi yang biasanya aku tahu, hilang dari otakku. Untung aku tahu harus ke mana. Pertama, tujuanku ke rumah Pak RT. Setahuku beliau menyewakan kamar kost untuk cewek.

"Kita ke rumah Pak RT dulu Mbak," kataku menjelaskan ke mana tujuan kami. Dia mengernyitkan dahi, mengisyaratkan ekspresi antara kaget dan bingung. "Gini Pak RT juga menyewakan kamar kost, jadi kita coba ke sana. Barangkali masih ada yang kosong, gitu," jelasku. Dia kemudian mengangguk memahami maksudku.

"Hmm.." Dia bergumam."Tadi kayaknya Mas dengarin lagu, ya?" Dia memecah keheningan di antara kami. 

"Oh, tadi...iya dengarin lagu. Kebetulan lagu kesukaan, sih," jawabku sambil menggaruk kepala yang tidak gatal. 

"Apa?" tanyanya lagi.

"Apa?" aku malah mengulang ucapannya. "Oh, lagunya, ya. Perfect." jawabku. Bisa-bisanya malah nggak fokus, ditanya lagunya apa, malah balik nanya apa. Duh, malu.

 "Perfect dari Ed Sheeran, kah?" tebaknya. Jelas benar. Tepat. Aku cuma mengangguk saja sambil senyum-senyum nggak jelas.

Karena lebih lama diam, nggak terasa sudah sampai di depan rumah Pak RT. Aku menekan bel di pagar rumahnya. Kayaknya beliau ada di rumah. Nggak lama setelah aku menekan bel, terdengar suara langkah kaki menuju ke pagar.

"Sore, Pak." sapaku ketika melihat wajah yang keluar dari pagar adalah Pak RT.

"Sore Mas Nata, ada apa?" Pak RT tampak kaget dengan kedatanganku sore ini, mengisyaratkan tumben Nata ke sini. Apalagi dengan perempuan di sampingku. Aku segera menjelaskan kedatangan kami.

"Ada yang mau cari kost, Pak." jelasku menunjuk perempuan itu. Dia mengangguk mengiakan maksudku. 

"Oh, cari kost, ya. Aduh maaf sekali Mbak, Mas Nata, di tempat saya sudah penuh." 

Aduh penuh. Harus cari ke mana lagi, batinku seketika mengingat-ingat tempat kost di sekitar sini. Aku sekilas melihat perempuan itu kecewa. Meski tetap tampak tersenyum, tipis saja.

"Coba ke rumah Bu Dewi atau Kost Putri Cempaka. Di sana lebih banyak kamarnya, mungkin masih ada yang kosong." saran Pak RT membantu kebuntuanku. Aku melihat raut wajah perempuan itu kembali bersemangat. 

Tidak berlama-lama, setelah mengucapkan terima kasih dan sama ke Pak RT, kami bergegas ke tempat yang dimaksudkan. Mengingat hari sudah hampir pukul lima sore, sebentar lagi maghrib. Tapi kedua tempat yang dimaksud Pak RT; rumah Bu Dewi dan Kost Putri Cempaka lumayan jauh. Keduanya terletak di gang paling ujung di kompleks ini.

Aku berjalan agak cepat, perempuan di sampingku juga. Kami masih diam. Aku mencoba memecah kesunyian, "Maaf, ya, saya nggak tahu..."

"Eh, nggak apa-apa. Santai aja, Mas. Semoga dua tempat berikutnya masih kosong, ya," balasnya cepat. "Saya yang nggak enak, malah merepotkan."

"Eh, nggak apa-apa. Kebetulan tadi saya juga mau jalan-jalan. Pas banget, kan." balasku dengan tenang kali ini. Kami jadi sama-sama nggak enak hati. 

"Tempatnya agak jauh, di gang belakang. Nggak apa-apa?" tanyaku meyakinkan perempuan itu. Kalau dia jawab, 'Nggak apa-apa' kami lanjut jalan kaki. Tapi kalau dia jawab, 'hmmm...' agak terdengar ragu, aku akan balik arah mengambil motor dan mengantarnya ke sana.

"Nggak apa-apa. Santai aja," katanya tenang. "Saya suka jalan kaki, kok," Saya juga suka, batinku.

Selama perjalanan suasana lebih cair. Kami saling melempar tanya dan saling jawab. Asik. Ternyata dia bekerja di kantor di depan. Seberang jalan menuju kompleks ini. Kira-kira 10-15 menit jalan kaki ke rumahku. Aku jadi tahu kriteria kamar kost yang dia cari; pastinya kost khusus putri, ada kamar mandi dalam, kalau adanya kamar mandi luar nggak apa-apa, soal AC atau non AC nggak jadi soal, bebas. Katanya lebih cocok non AC dan ada dapur bersama. Ternyata dia juga suka lagu yang tadi aku putar, Perfect dari Ed Sheraan. Akhirnya kami sama-sama membicarakan lagu itu, di sisa perjalanan hingga sampai di rumah Bu Dewi.

Tidak berbeda dengan Pak RT, Bu Dewi bilang di tempatnya juga sudah penuh. Katanya, baru dua hari yang lalu ada yang menempati, mahasiswi. Baiklah kami memutuskan pamit dan menuju ke Kost Putri Cempaka. Untungnya nggak begitu jauh. Hanya selisih empat rumah dari rumah Bu Dewi.

Semoga masih ada yang kosong, harapku dalam hati. Aku jadi ikut khawatir jika di Kost Putri Cempaka juga penuh, perempuan itu harus mencari ke mana lagi. Lebih tepatnya lagi, aku harus membantu mencari kost ke mana lagi? Buntu.

Perempuan itu menggelengkan kepala saat keluar dari Kost Putri Cempaka. Aku yang mendesah putus asa. Terdengar berlebihan, ya? Memang aku sebuntu itu.

"Nggak apa-apa. Nanti saya cari ke tempat lain," katanya saat berjalan menghampiriku. 

"Maaf, ya,"

"Lho nggak perlu minta maaf. Nggak enak saya, sudah merepotkan, Mas."

"Nggak merepotkan, tapi saya malah nggak bisa bantu banyak," bantahku. Sungguh dia nggak merepotkan. Aku yang nggak enak hati. Dia sudah berjalan kaki jauh sampai ke gang belakang. Tetapi hasilnya nihil. Aku juga karena jarang keluar dan bergaul sama tetangga, jadi nggak update info terkini, salah satunya info kost terdekat.

"Mari pulang," ajakku. Dia menyambut ajakanku. Kami kembali berjalan bersisian.

Perjalanan pulang— sebenarnya pulang ke mana, kalau aku jelas ke rumahku, dia?—terasa lebih cepat. Nggak terasa sudah sampai ke gang menuju rumahku, tempat di mana kami tadi bertemu. Dia sudah mau mengatakan kalimat perpisahan, 'Sampai jumpa,' sambil melambaikan tangan. Namun tiba-tiba seseorang menyapaku.

"Mas Ta dari mana? Sama siapa ini?" tanya suara itu yang sudah biasa aku dengar sapaannya untukku. Langsung dua pertanyaan sekaligus.

"Halo, Bude. Habis jalan-jalan sore keliling kompleks," kataku agak canggung apalagi perempuan itu masih berdiri di sampingku.

"Siapa ini?" tanya Bude menunjuk perempuan di sampingku. Mengulangi pertanyaan kedua yang belum aku jawab.

Segera aku yang menjawab, "Öh, dia mau cari kost Bude. Tapi penuh semua, tadi sudah ke tempat Pak RT...." 

"Mas Ta sering lupa, kan di rumah Bude juga menerima kost putri," Bude memotong penjelasanku yang langsung menyadarkanku. Astaga! Kan di rumah Bude terima kost juga. Kok lupa sih, Ta?!  

"Ayo Mbak cantik, ke rumah saya. Pas ada yang kosong," Bude langsung menggandeng perempuan itu berjalan bersamanya. Sementara aku masih bengong. Lalu buru-buru berjalan di belakang mereka.

Sesampainya di rumah Bude, yang letaknya persis berhadap-hadapan dengan rumahku hanya terpisah jalan, aku menyadari hal yang membuatku lupa kalau di rumah Bude menerima kost putri. Papan 'terima kost putri' nggak ada di pagar ataupun tembok rumahnya. Pantas saja aku lupa.

Perempuan itu sudah masuk ke dalam rumah bersama Bude. Tampaknya akan lama karena ada kamar kosong dan kelihatannya perempuan itu cocok dengan kamar yang dicarinya. Aku berdiri di teras rumah Bude sambil bersenandung pelan lagu yang aku putar lagi.

"Makasih, Bude. Nanti untuk uang mukanya, biar teman saya langsung kontak ke Bude saja, ya," kata perempuan itu saat keluar dari dalam rumah. Tampaknya benar dugaanku. Dia dan kamar di sini cocok. Maksudnya sesuai yang dicari.

"Oh, iya, santai saja, Mbak cantik." kata Bude selalu dengan nada yang ramah dan riang.

"Kalau begitu saya pamit. Makasih ya, Mas, sudah mau direpotkan. Malah menemani saya cari kost," katanya masih tidak enak hati padaku. Padahal aku senang-senang saja, nggak merasa direpotkan sama sekali.

"Santai saja, Mbak," kataku mengulang ucapan yang sebelumnya dia ucapkan, pada percakapan sebelum-sebelumnya ketika kami saling tidak enak hati.

"Sebentar lagi maghrib lho. Mampir aja dulu Mbak cantik. Ya, kan, Mas Ta." Bude memandangku seperti memberikan isyarat, tapi aku bingung apa. 

"Nah, itu sudah azan. Katanya kan nggak boleh pergi-pergi pas azan, ya kan, Bude?" sahutku pas azan berkumandang. Kalimat ucapan terakhirku itu pernah aku dengar dari Bude. Jadi, aku menekankan persetujuan kepada beliau.

"Sudah duduk sini dulu, tunggu sampai azan selesai, baru pulang. Bude sendirian di rumah, anak-anak kost belum pulang, suami Bude juga belum pulang kerja. Mau ya?" Bude memang pandai sekali urusan membujuk orang. Perempuan itu mengangguk setuju. 

Kami, aku dan dia, duduk di kursi tamu di teras. Sementara Bude kembali ke dalam rumah.

"Jadi, nanti kamu kost di sini?" tanyaku, kali ini dengan sapaan kamu

"Bukan saya yang kost di sini. Teman saya, dua orang. Kebetulan di sini pas ada dua kamar kosong." jelasnya yang langsung membuatku membuat 'oh' panjang. Kukira kamu.

"Untung sudah jalan-jalan bareng," gumamku pelan. Tapi sepertinya di dengar olehnya. Meski mungkin samar-samar dengan suara azan.

"Gimana?" 

Nah, kan, dia dengar.

"Nggak papa, kan belum tentu bisa bertemu lagi, kita. Untung tadi sudah jalan bareng," kataku sepelan mungkin. Malu sebenarnya. Bodoh kenapa aku jawab sepolos itu. Agak menyesal.

Terdengar tawanya pelan, tipis, sambil mengangguk-angguk kepala. "Jalan-jalan sore, ya," katanya pelan juga. Tapi sumpah terdengar sangat jelas dan jernih di telingaku, masih di antara kumandang azan.

Astaga. Rasa suntuk sepanjang pagi sampai sore sebelum bertemu dia, langsung menguap, hilang. Sekarang yang ada bergetar hatiku.

Jalan-jalan sore. Ya, ini jalan-jalan sore teraneh, terspontan, yang aku rasakan. Pertemuan tidak sengaja dengan orang yang mendebarkan hati sejak dari awal bertatap.

Semoga ada jalan-jalan sore berikutnya. 

You May Also Like

0 komentar