What If...?

by - Januari 03, 2022

 

Mari berandai-andai, bagaimana jika;

Tahun 2020, lebih tepatnya lagi di akhir tahun 2019, Covid-19 tidak menyerang. Pastinya tahun 2020 tidak akan ada PSBB maupun karantina wilayah di Indonesia maupun belahan dunia lainnya. Pastinya juga satu tahun kemarin, kita tidak perlu mendengar istilah PSBB yang menggunakan level-level-an. Tidak ada yang menggunakan masker dengan tanpa alasan, kecuali sedang flu atau batuk. Penjualan masker pasti tidak seperti sekarang ini. Dan kita bebas pergi ke mana saja. BEBAS. Iya, tanpa dicolok-colok dengan tes Antigen atau PCR. Tanpa perlu menjalani karantina mandiri setelah pulang berpergian dari luar negeri. Dan kalau mau jalan-jalan jauh tidak perlu diam-diam (sekarang juga sudah mulai bebas).

Pasti masih normal seperti tahun 2019.

Lalu, bagaimana jika;

Pandemi tidak menyerang di akhir tahun 2019-awal tahun 2020. Kira-kira mungkin tidak semua tempat kerja khusunya pemerintahan dan perusahaan swasta, serta lembaga pendidikan tinggi seperti universitas, menggunakan Zoom Meeting atau Google Meet atau MS Teams untuk kegiatan mereka sehari-hari. Misal, untuk rapat, upacara, kegiatan belajar mengajar, pentas seni, bahkan acara talkshow. Mungkinkah platform tersebut digunakan semasif sekarang? Mungkinkah sebuah acara talkshow di ibukota bisa diakses oleh yang di daerah secara daring, begitu juga sebaliknya? Mungkinkah para musisi menyelenggarakan konsernya secara virtual? Mungkinkah terpikirkan untuk menyelenggarakan kegiatan belajar mengajar di sekolah secara online? Ujian online? Padahal sudah terbiasa bertatap muka.

Hmm, seandainya ya, seandainya.

Manusia (aku terutama) sering kali berandai-andai tentang ini-itu. Jika begini, jika begitu. Seakan-akan dalam kurun waktu berandai-andai itu, diri ini tidak seutuhnya ada di masa kini. Seru? Seru. Sesaat. Kemudian kembali melihat realita saat ini, di waktu ini.

Apakah dengan berandai-andai itu menjadikan kita manusia yang tidak bersyukur? Manusia yang penuh penyesalan? Entah. Siapa yang berhak menilai kita pandai bersyukur atau pandai menyesal? Tidak satu manusia pun, aku rasa. 

Aku rasa, semua pengandaian itu memang semu. Apa yang bisa dilakukan adalah menghadapi kenyataan saat ini. Sebab masa depan masih misteri, siapa yang tahu. Dan masa lalu sudah lama terjadi. Maju dan bertahan perlahan. Menerima. Belajar menerima dan menjalaninya dengan setengah hati (mungkin) pada awalnya. Hingga kemudian menemukan ritme yang membuat langkah sepenuh hati.

Jadi, jikalau masih berandai-andai, semoga bukan untuk menumpuk penyesalan dalam diri.

You May Also Like

0 komentar