Ada Perempuan di Rumah Ayah

by - Januari 23, 2022

Ada perempuan di rumah Ayah. Setiap jadwal kedatanganku ke rumah Ayah, perempuan itu selalu ada. Sudah seminggu terakhir perempuan itu selalu ada, di ruang tamu duduk berhadapan dengan Ayah. 

Aku tidak tahu siapa perempuan itu. Belum pernah aku melihatnya. Karena aku juga tidak mengenal perempuan itu, aku memilih menyelinap masuk ke rumah melalui pintu samping langsung menuju dapur. Tidak ada niatan untuk berbincang dengan mereka. Aku tidak berlama-lama juga di sana. Tidak juga menguping apa pembicaraan mereka. 

Aku tidak lagi tinggal bersama Ayah setelah aku menginjak delapan belas tahun. Aku memilih tinggal di dekat kampus. Aku datang ke rumah Ayah setiap pagi, sekitar pukul tujuh, mengantar makanan untuk sarapan dan makan siang. Sore setelah aku selesai kuliah, aku akan datang lagi mengantar makanan untuk makan malam bersama Ayah. Sehabis makan malam aku lanjut bercengkerama dengan Ayah. Tidak ada rahasia di antara kami. Tapi keyakinanku goyah setelah melihat perempuan itu di rumah Ayah. Adakah rahasia yang Ayah sembunyikan dariku?

Aku menerka-nerka siapa perempuan itu. Apakah Ayah ingin memiliki istri seperti kebanyakan laki-laki di luar sana, seperti pamanku yang sudah setahun memiliki istri yang aku panggil bibi atau seperti kakek yang memperistri nenek sejak lima puluh... lima puluh tiga tahun yang lalu. Kalau benar Ayah ingin memiliki istri aku harus memanggil istri ayah dengan sebutan tante atau... ibu? 

Aku gundah jika kenyataan Ayah ingin menikah memang benar. Posisiku di rumah ini sebagai satu-satunya perempuan kesayangan Ayah akan bergeser. Pasti si istri Ayah yang akan mengurus segala kebutuhan Ayah, terutama memasak makanan untuk sarapan, makan siang dan makan malam. Padahal selama ini aku yang memasak untuk Ayah dengan resep yang kami buat sendiri. Sangat cocok untuk lidah kami berdua, terutama Ayah yang sangat suka makanan gurih dan pedas. Aku juga suka makanan gurih dan pedas tetapi sesekali menikmati masakan manis.

Perempuan itu masih duduk di ruang tamu bersama Ayah. Sedangkan aku masih duduk di kursi dapur. Rantang makan berisi masakan untuk Ayah masih utuh di atas meja. Sudah pukul setengah delapan, sudah lebih dari setengah jam sejak aku datang dan perempuan itu sudah ada di ruang tamu. Aku heran apa alasan perempuan itu bertamu sepagi ini. Kalau aku masih wajar datang ke rumah Ayah pagi-pagi. Apa ada tamu yang datang setiap hari hampir seminggu ini di pagi buta dan sore hari bertamu lagi (karena siang hari di salah satu hari di minggu ini aku pernah datang ke rumah Ayah, perempuan itu tidak ada)? Aneh. Lebih anehnya setiap aku datang untuk mengantar makan malam untuk Ayah dan menghabiskan satu hingga dua jam bersama Ayah setelah makan malam, Ayah tidak sekalipun menyinggung tentang perempuan itu dan aku memang tidak bertanya. Aku tahu betul Ayah menyadari kedatanganku di jadwal rutinku. Kalau pagi aku datang biasanya aku akan mengobrol dengan Ayah sebentar, tetapi hampir seminggu ini aku hanya meletakkan rantang di dapur dan bergegas meninggalkan rumah Ayah. Kalau sore aku datang (akhir-akhir ini aku datang pukul empat) perempuan itu akan pergi meninggalkan rumah Ayah setengah jam setelahnya. Aneh. Aneh sekali.

Saat masih melamun menghubungkan rutinitas kedatanganku dan perempuan itu ke rumah Ayah, tiba-tiba aku dengar langkah kaki menuju dapur. Aku hafal langkah kakinya, itu Ayah. Ayah menghampiriku dengan senyuman yang sama setiap kali aku datang. Senyum khas Ayah aku menyebutnya. Senyum tipis tidak lebar. 

"Ikut Ayah yuk," kata Ayah mengulurkan tangannya. Aku sebenarnya enggan, tapi tetap aku ikuti ajakan Ayah. Ayah menggandengku berjalan ke ruang tamu. Deg. Pasti bertemu perempuan itu. 

Ayah menyuruhku duduk di sofa sebelah perempuan itu. Ragu-ragu aku duduk di sebelah kiri perempuan itu. Aku memberikan senyum ragu-ragu dan mengangguk tanda menyapa. Perempuan itu menatapku seperti takjub. Aku kikuk dengan tatapan dan senyumannya. Aku menatap Ayah meminta penjelasan. 

"Ayah ingin mengenalkan seseorang," kata Ayah dengan tenang. 

Ayah yang duduk di sofa terpisah di sebelah kiriku, meraih tanganku. "Perempuan di samping kamu itu," kata Ayah memulai penjelasan yang tidak ingin aku dengar. Calon istri Ayah dan Ayah ingin menikah dengan dia. "adalah ibumu." lanjut Ayah yang membuatku membeku. 

Perempuan itu langsung memelukku dari samping. Aku masih terpaku menatap Ayah. Dan perempuan itu terisak di pundakku. Demi Tuhan aku bingung dengan semua ini.

"Ibuku?" tanyaku heran kepada Ayah yang dibalas dengan anggukan. "Ibu kandung," tegas Ayah.

Ibu. Sebuah kata dan sosok yang asing bagiku. Aku hanya memiliki ayah sejak aku bisa mengenali dunia sekitar. Hanya ada Ayah dan selalu Ayah. Seiring berjalannya waktu kadang aku memanggil Ayah dengan sebutan Ibu. Ayah adalah duniaku. Dan sekarang Ayah mengatakan bahwa perempuan yang bertamu ke rumah Ayah hampir seminggu terakhir di waktu yang sama dengan kedatanganku adalah ibuku. Ibu kandungku. Astaga. Aku bingung.

Perempuan itu, maksudku ibuku, masih memelukku. Dengan kikuk dan ragu dan semua kebingunganku akan menggerakan tangan membalas pelukannya. Aku mengalihkan tatapan ke arah lain. Sedikit aku melirik Ayah, matanya berkaca-kaca. Mungkin terharu. Perempuan itu, aku masih susah menyebutnya ibu, melepaskan pelukannya. Aku lega sekali. Dia ganti menggengam tanganku. Aku menatapnya, tapi tidak lantas menangis seperti dia atau berkaca-kaca seperti Ayah. 

"Kamu sudah besar, Nak." ucapnya sambil membelai rambutku. 

Aku memang sudah besar. Semua orang juga tahu itu. Aku sudah sembilan belas tahun jelas sudah besar. Aku sudah melewati pubertas yang aku rasa masa membingungkan dan menyulitkan untukku. Aku sudah mengalami haid berkali-kali setiap bulan, sesuai siklus. Aku bahkan sesuai undang-undang sudah boleh menikah. 

Aku hanya diam. Tidak bereaksi apapun. Pikiranku justru melayang pada masa lalu. Lebih tepatnya masa bersama Ayah selama delapan belas tahun di rumah ini. Tanpa pernah ada kehadiran perempuan di sampingku. Bahkan melihat fotonya saja tidak pernah. Kata pertamaku saat bisa berbicara adalah Ayah. Aku sudah terbiasa tumbuh dengan pertanyaan 'Ibu kamu di mana?' 'Siapa ibumu?' 'Kok selalu sama Ayah?' dan lainnya. Aku kecil merasa menjadi orang yang berbeda karena tidak memiliki ibu. Pada akhirnya aku belajar menerima kenyataan bahwa aku tidak memiliki ibu sejak kecil. Aku pikir itu hal yang mudah ternyata tidak semudah itu. Tetapi, seiring berjalannya waktu aku sudah terbiasa. Terbiasa hanya bersama Ayah. Hanya memiliki Ayah. Tidak lagi terbesit untuk mengungkit tentang ibu.

Aku memikirkan perasaan Ayah saat ini. Pasti sulit bagi Ayah menerima kedatangan perempuan yang telah lama meninggalkannya sendirian. Ayah pasti bingung harus melakukan apa. Mungkin perasaan Ayah juga kembali ke masa-masa saat masih memiliki perempuan ini. Saat menjadi kekasihnya, saat menjadi istrinya bahkan saat melahirkan anaknya. Kedatangan perempuan ini seperti merobek lagi luka yang sudah mengering. Ayah yang paling terluka. Ayah pula yang paling lapang dada membukakan pintu untuk perempuan ini bertamu lagi.

Hening di antara kami bertiga. Tidak ada lagi yang bersuara. Aku masih dalam kebingungan mencerna yang terjadi. 

"Ayah," panggilku. 

"Ya, sayang," balas Ayah.

Aku menatap Ayah lalu perempuan di sampingku bergantian, "Aku butuh waktu untuk memahami semua ini."

Ayah mengangguk memahami maksudku. Perempuan di sampingku ikut mengangguk. Dia melepaskan genggaman tangannya. Aku beranjak pergi meninggalkan mereka. Aku menuju kamarku.

Aku dengar lamat-lamat mereka berbincang saat masuk ke kamar. Aku lalu menghempaskan tubuh ke kasur. Mencoba kembali mencerna fakta yang baru saja hadir. 

Ponselku bergetar ada pesan masuk dari kawanku. Dia mengirimkan pesan terusan yang sudah berkali-kali diteruskan. Dasar kebiasaan, batinku. Namun, kemudian aku terkejut dengan isi pesannya. Ada foto orang yang mirip sekali dengan perempuan itu. Memang dia. Pesan itu mengatakan bahwa sosok yang ada di foto sedang dicari oleh keluarganya. Kemudian yang membuatku kembali terkejut, keluarga orang itu sedang dalam kasus pailit. Suaminya sedang dalam proses hukum. 

Jadi, perempuan itu kabur karena keluarganya bangkrut? Suaminya terkena kasus hukum lalu dia lari kembali ke Ayah? Gila!

Seketika kebingungan yang menjeratku beberapa menit lalu lenyap. Aku tahu apa yang harus aku lakukan. 

"Tante," panggilku dari ambang pintu kamar kepada perempuan itu yang masih ada di ruang tamu. Dia menoleh ke arahku. Matanya berbinar. Aku benci.

"Sebaiknya Tante kembali pulang. Pulang ke keluarga Tante. Sudah seharusnya tidak kabur lagi," jelasku dengan bergetar. Aku terkejut mendengarnya. Aku bisa melihat dari raut wajahnya yang mengeras. Sepertinya Ayah marah mendengar ucapanku.

Perempuan itu kembali terisak, bahunya narik turun. Aku tidak yakin itu benar menangis atau hanya pura-pura. Aku tidak bisa langsung mempercayainya.

"Maaf, Yah." ucapku sambil menatap Ayah yang sedih. Aku menutup pintu kamar kemudian menguncinya. 

Aku tidak bisa menghapus fakta bahwa dia adalah ibu kandungku. Mungkin semua orang juga sudah tahu. Aku hanya bisa mencoba mempertahankan apa yang sudah baik-baik saja. Maafkan aku Ayah.

You May Also Like

0 komentar